Pada awal Paku Buwono X memerintah, pamor keraton Solo sudah sangat menyusut. Puncak kemerosotan ketika kekuasaan pengadilan benar-benar jatuh ke tangan Belanda di tahun 1903. Setelah sebelumnya kekuasaan politik dan pertahanan telah seratusan tahun berada dalam cengkeraman kolonial. Sejak pusat Mataram masih di Kotagede, Jogja.
Namun di balik seluruh kekuasaan yang telah dilemahkan penjajah, Paku Buwono X mampu memanfaatkan sedikit kekuatan yang masih dimilikinya. Yakni dengan mendukung berdirinya organisasi nasionalisme Boedi Oetomo dan Syarekat Islam di Solo.
Dukungan itu diberikan dengan banyak para pejabat keraton yang diperintahkan menjadi pengurus Boedi Oetomo. Dan untuk menggalang dukungan pada Sarekat Islam, Paku Buwono X sering mengadakan kunjungan ke daerah-daerah.
Sebuah kunjungan raja yang tiap lawatan selalu diiringi ratusan orang pengikutnya. Namun karena Belanda mengkhawatirkan tindakan itu, pada masa Gubernur Jenderal De Vogel (1903), jumlah pengiring dibatasi hanya sampai 200 orang. Dan ketika Van Wijk menjabat,dikurangi lagi menjadi 80 orang saja yang boleh mengiringi.
Pantas Belanda khawatir, karena kunjungan raja Jawa ini ternyata sangat efektif menggalang pendukung Sarekat Islam. Paku Buwono X berhasil menarik simpati rakyat dan para bupati sehingga Solo bisa menjadi kota yang turut mempelopori nasionalisme.
Dalam catatan sejarah, kita dapatkan Paku Buwono X telah mengunjungi Batavia, Buitenzorg (Bogor), Priyangan, Tasikmalaya, Pekalongan, Cirebon, Madiun, Surabaya, Bangkalan, Bali, Lombok, Kediri, Cepu, bahkan hingga ke Lampung.
Sepanjang jalan yang dilewati, selalu dibanjiri rakyat dari berbagai pelosok untuk ngalap berkah dalem. Mereka rela berebut sisa makanan dan air bekas mandi Paku Buwono X, yang dijual oleh abdi dalem keraton. Yang ini merupakan sebuah cermin betapa besar kharisma dan wibawa yang berhasil dibangun sang raja melalui kunjungannya.
Bahkan di kota di mana ia mengadakan kunjungan, selalu disambut pasar malam dan pertunjukan upacara keraton. Di situ Paku Buwono X menyebar udik-udik (uang) agar rakyat gembira dan makin patuh pada perintahnya. Dan terbukti, kepercayaan para bupati dan rakyat untuk berjuang melawan penjajah semakin menguat.
Maka banyak sejarawan yang mengakuinya sebagai raja Jawa yang pertama kali menempatkan politik kunjungan kerja sebagai senjata melawan Belanda. Kunjungan yang bukan sekadar ritual menyapa rakyat dan rekreasi, tetapi juga menunjukkan eksistensi dirinya dalam meneguhkan kekuasaan Jawa yang harus dipertahankan.
Sebuah lawatan yang sangat membuat geram Belanda, karena berpotensial untuk melakukan pemberontakan. Akhirnya, pada waktu gubernur jenderal Belanda dijabat oleh Sehneider (1908), menyatakan pelarangannya atas kunjungan raja Solo ini.
Hingga gelar yang didapatkan dari rakyat Jawa adalah Sinuwun Ingkang Minulyo soho Ingkang Wicaksono, atau Paduka yang mulia dan juga bijaksana.
Selama memerintah, ia memang banyak mendapatkan medali penghargaan dari negara lain. Dan ia juga gemar sekali memakainya di setiap kesempatan. Hingga baju kebesaran yang dipakainya penuh medali. Bahkan konon bukan hanya di dada dan bagian depan tubuhnya, melainkan juga mencantolkan medali-medali itu sampai di punggungnya. Maka tak heran kalau ada yang mengatakan dengan bercanda, bahwa Paku Buwono adalah raja terbesar dan ‘terbesar’. Karena saking besarnya tubuh yang dimilikinya.
Dan satu lagi kenangan tentang raja terbesar dan terlama di Solo ini, adalah banyaknya perempuan yang menjadi istrinya. Sejarah mencatat, Paku Buwono X mempunyai istri sebanyak 45 orang dan putra putrinya berjumlah 68 orang. Karena itulah, selain dikenal sebagai raja terlama dan ‘terbesar’, ia juga dikenang sebagai raja ‘terkuat’ di Tanah Jawa.
0 Komentar
Penulisan markup di komentar